Liputan14.id Kepulauan Selayar - Malam itu, Jumat, 19 Juli 2024, sekitar pukul 22.30 WITA, suasana Dusun Gollek, Desa Bontomarannu, Kecamatan Bontomanai, tiba-tiba berubah menjadi mencekam. Angin kencang dengan kecepatan lebih dari 40 km/jam menderu tanpa henti, mengguncang setiap sudut Desa kecil ini. Di tengah angin yang menggila, sebuah pohon kemiri setinggi 15 meter yang telah berdiri kokoh selama puluhan tahun, roboh menimpa rumah panggung kayu milik Mawanting, seorang lelaki tua berusia 76 tahun.
Saat kejadian, Mawanting dan keluarganya sedang berada di dalam rumah. Malam yang seharusnya tenang berubah menjadi mimpi buruk. Tiba-tiba, suara gemuruh keras terdengar memecah keheningan malam, membuat mereka terjaga dalam kepanikan. "Kraakk!" suara pohon yang tumbang menembus atap ruang tamu, memecah kesunyian dan hampir saja merenggut nyawa mereka yang sedang beristirahat di kamar tidur.
Di tengah kepanikan, Mawanting hanya bisa berdoa, berharap keajaiban terjadi. Dalam hitungan detik yang terasa seperti selamanya, ia memeluk erat keluarganya, bersyukur mereka semua selamat meski rumah mereka hancur berantakan. Rasa syok dan ketakutan masih jelas tergambar di wajah Mawanting ketika ia berusaha memahami bencana yang baru saja menimpa keluarganya.
Serka Andi Jumahir, Babinsa Desa Bontomarannu anggota Kodim 1415/Selayar dari Koramil 1415-04/Bontomatene, yang mendengar kabar tersebut langsung bergegas ke lokasi kejadian. Dengan langkah sigap, ia dan masyarakat segera mengevakuasi Mawanting dan keluarganya dari reruntuhan yang menakutkan itu. Tidak ada waktu untuk berpikir panjang, tindakan cepat dan tepat adalah satu-satunya pilihan.
Keesokan paginya, Sabtu 20 Juli 2024, masyarakat sekitar berkumpul bersama. Dalam semangat gotong royong yang tinggi, mereka bekerja bakti membersihkan pohon tumbang dan puing-puing rumah Mawanting. Keringat bercucuran, tetapi semangat tak pernah surut. Di balik setiap serpihan kayu yang diangkat, tersirat harapan dan tekad untuk membangun kembali rumah yang hancur.
Koordinasi pun dilakukan dengan BPBD Kepulauan Selayar dan Dinas Sosial Kepulauan Selayar untuk membantu perbaikan rumah Mawanting. Dukungan dari berbagai pihak mengalir, menunjukkan bahwa dalam kesulitan, selalu ada tangan-tangan yang siap menolong. Meski kerugian materi diperkirakan mencapai sekitar ± 25 juta Rupiah, namun nyawa yang selamat jauh lebih berharga dari segalanya.
Ketika ditemui, Mawanting masih tampak trauma. Kejadian naas itu meninggalkan bekas mendalam dalam jiwanya. Namun, di tengah segala kehancuran dan kehilangan, ia tak lupa mengucap syukur kepada Allah SWT karena ia dan keluarganya masih diberi kesempatan untuk hidup. “Alhamdulillah, kami masih selamat,” ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca, penuh keharuan dan kelegaan.
Kisah Mawanting adalah cerminan betapa rapuhnya kehidupan manusia di hadapan kekuatan alam. Dalam sekejap, angin kencang mampu merobohkan apa yang telah dibangun bertahun-tahun. Namun, di balik setiap tragedi, ada cerita tentang keberanian, kebersamaan, dan keteguhan hati. Mawanting dan keluarganya, dengan dukungan masyarakat dan pemerintah, akan membangun kembali rumah dan kehidupan mereka. Tragedi ini menjadi pengingat bahwa di tengah keterpurukan, selalu ada harapan dan kekuatan untuk bangkit kembali.
Selayar, yang dikenal dengan keindahan alamnya, kali ini menunjukkan sisi lain yang menantang. Namun, semangat dan kebersamaan masyarakatnya membuktikan bahwa tak ada badai yang tak bisa dilalui. Mawanting adalah bukti nyata bahwa kehidupan, betapapun rapuhnya, selalu layak untuk diperjuangkan.